Hapus Stigma untuk Dunia yang Setara bagi Penyandang Kusta dan Down Syndrome
Sebagai masyarakat kita punya peran penting menghapus stigma, ekosistem lingkungan yang baik agar penderita kusta dan down syndrome merasa diterima
Bayangkan! dunia yang setara
Dunia yang bebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi
Dunia yang beragam, adil, dan inklusif
Dunia di mana perbedaan dihargai dan dirayakan
Dunia dimana kita semua dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi
Baru membayangkannya saja hati sudah terasa damai yah!
Namun, mewujudkan dunia yang adil dan setara, dari tahun ke tahun selalu menjadi issue, meski zaman semakin modern dengan perkembangan teknologi, informasi dan berbagai macam kemajuan lainnya, masih banyak kita temui kisah mereka yang terus memperjuangkan kesetaraan.
Tidak mendapatkan kesempatan yang sama, mengalami diskriminasi dan terpinggirkan. Salah satu kelompok yang hingga saat ini terus memperjuangkan kesetaraan adalah orang-orang dengan kusta dan penyandang disabilitas down syndrome.
Dalam rangkaian kegiatan kampanye hari kusta, dan peringatan hari down syndrome dunia tanggal 21 Maret lalu, dalam acara talkshow bersama berita KBR, saya tercekat menyimak kisah perjuangan melawan stigma pada penderita kusta dan penyandang down syndrome
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan yang sangat kompleks, menurut data kementerian kesehatan, hingga saat ini masih ada 6 provinsi di Indonesia dengan Prevalensi kusta di atas 1/10.000 penduduk. Sementara itu, kasus Down syndrome di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, proporsi kasus sindrom Down pada anak usia 24-59 bulan meningkat sebesar 0,12 persen. Kasus Down Syndrome meningkat menjadi 0,21 persen pada tahun 2018.
Penderita kusta dan orang dengan down syndrome hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi, mendapat perlakuan yang buruk di masyarakat. Selain dari akibat adanya pemahaman yang keliru, stigma di masyarakat kita mengenai keberadaan mereka juga masih sangat tinggi.
Bersama, narasumber dr Oom Komariah ketua Persatuan Orangtua dengan Anak Down Sydrome atau POTADS sekaligus ketua pelaksana indonesia peringatan hari down syndrome sedunia tahun 2022.
Dunia yang bebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi
Dunia yang beragam, adil, dan inklusif
Dunia di mana perbedaan dihargai dan dirayakan
Dunia dimana kita semua dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi
Baru membayangkannya saja hati sudah terasa damai yah!
Namun, mewujudkan dunia yang adil dan setara, dari tahun ke tahun selalu menjadi issue, meski zaman semakin modern dengan perkembangan teknologi, informasi dan berbagai macam kemajuan lainnya, masih banyak kita temui kisah mereka yang terus memperjuangkan kesetaraan.
Tidak mendapatkan kesempatan yang sama, mengalami diskriminasi dan terpinggirkan. Salah satu kelompok yang hingga saat ini terus memperjuangkan kesetaraan adalah orang-orang dengan kusta dan penyandang disabilitas down syndrome.
Dalam rangkaian kegiatan kampanye hari kusta, dan peringatan hari down syndrome dunia tanggal 21 Maret lalu, dalam acara talkshow bersama berita KBR, saya tercekat menyimak kisah perjuangan melawan stigma pada penderita kusta dan penyandang down syndrome
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan yang sangat kompleks, menurut data kementerian kesehatan, hingga saat ini masih ada 6 provinsi di Indonesia dengan Prevalensi kusta di atas 1/10.000 penduduk. Sementara itu, kasus Down syndrome di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, proporsi kasus sindrom Down pada anak usia 24-59 bulan meningkat sebesar 0,12 persen. Kasus Down Syndrome meningkat menjadi 0,21 persen pada tahun 2018.
Penderita kusta dan orang dengan down syndrome hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi, mendapat perlakuan yang buruk di masyarakat. Selain dari akibat adanya pemahaman yang keliru, stigma di masyarakat kita mengenai keberadaan mereka juga masih sangat tinggi.
Bersama, narasumber dr Oom Komariah ketua Persatuan Orangtua dengan Anak Down Sydrome atau POTADS sekaligus ketua pelaksana indonesia peringatan hari down syndrome sedunia tahun 2022.
Narasumber lainnya adalah Uswatun Khasanah dari program inklusif NLR Indonesia lembaga non pemerintah yang menangani masalah kusta sekaligus juga survivor atau orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK)
Kusta bukan kutukan, penderitanya bisa sembuh, beraktivitas menjalani hidup normal
penyakit kusta adalah penyakit dengan kumpulan gejala-gejala kulit secara umum yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae Hanseniase, Elephantiasis, Melaats, dan lain-lain.Bakteri ini menyerang saraf tepi, kemudian kulit, saluran pernapasan atas dan organ lain, dengan tanda umum permasalahan kulit berupa bercak-bercak berwarna putih, yang terdapat di beberapa area, kusta sendiri terbagi menjadi dua, ada kusta basah dan kusta kering.
Ketika seseorang didiagnosis kusta, maka harus segera mendapat perawatan karena jika terlambat diobati, penderita berisiko mengalami hilangnya sensibilitas, kelemahan otot, deformitas atau kerusakan pada tangan dan kaki, serta gangguan pada mata.
Karena tampilan penyakit kulit akibat kusta tampak mengerikan dan menjijikan, banyak stigma dan mitos eputar kusta beredar, penyakit ini dipandang negatif, penderitanya dianggap mendapat kutukan atau azab karena melakukan dosa besar, padahal semua itu keliru.
Saya masih punya keinginan dan cita-cita, oleh karena itu saya harus sembuh, salah satu caranya dengan rutin disiplin minum obat ~Uswatun Khasanah
Menderita kusta pada usia 14 tahun, Uswatun Hasanah menceritakan perjuangan terbebas dari kusta, dengan pengobatan rutin minum obat dari puskesmas selama 6 bulan, penyakit kustanya sembuh, ia juga tak kenal lelah dan bersemangat berupaya keluar dari stigma, meyakinkan keluarga serta lingkungan sekitar bahwa ia dapat hidup normal seperti yang lainnya, dapat kembali beraktivitas, melakukan kegiatan, pekerjaan dan hal lainnya.
Anak-anak dengan Down Syndrome memiliki masa depan
Tidak jauh berbeda dengan penderita kusta, penyandang disabilitas down syndrome mengalami stigma yang sama, menurut dr Oom Komariah, yang memiliki anak dengan down syndrome, juga dianggap sebagai kutukan, akibat dosa besar di masa lalu, bahkan ada yang menganggap down syndrome sebagai penyakit gangguan jiwa, padahal semua itu salah.Kondisi down syndrome terjadi berkaitan dengan kromosom di dalam tubuh manusia, tubuh kita dibentuk dari jutaan sel yang terdiri dari 46 kromosom. Lalu, di dalam kromosom tersebut terdapat DNA yang akan menentukan perkembangan tubuh manusia.
Anak yang terlahir normal hanya memiliki dua salinan kromosom sehingga jumlah kromosomnya adalah 46. Namun, pada seseorang dengan sindrom Down, terdapat kromosom tambahan, yaitu kromosom 21 sehingga kromosom totalnya berjumlah 47. Karena itu, Down syndrome sering kali disebut dengan trisomi 21.
Anak yang terlahir normal hanya memiliki dua salinan kromosom sehingga jumlah kromosomnya adalah 46. Namun, pada seseorang dengan sindrom Down, terdapat kromosom tambahan, yaitu kromosom 21 sehingga kromosom totalnya berjumlah 47. Karena itu, Down syndrome sering kali disebut dengan trisomi 21.
Hingga saat ini down syndrome memang belum dapat disembuhkan, namun dengan terapi fisik, pemberian obat dan suplemen serta perangkat bantu lainnya anak-anak dengan syndrom memiliki kesempatan untuk berkembang optimal, dapat melakukan kegiatan layaknya anak normal, membaca, menulis, berbicara dan memiliki keterampilan khusus, seperti melukis, mendesain, dan lain-lain.
Bagaimana kita sebagain masyarakat memperlakukan penderita kusta dan penyandang down syndrome
Peran kita sebagai masyarakat dalam menghapus stigma
Sebagai masyarakat kita punya peran penting memutus stigma, salah satunya dengan memberikan ekosistem lingkungan yang baik agar orang-orang dengan kusta dan down syndrome merasa merasa diterima.Bagaimana kita sebagain masyarakat memperlakukan penderita kusta dan penyandang down syndrome
- Respect, hormati keberadaan mereka sebagai sesama manusia, pada dasarnya mereka tidak jauh berbeda, dapat berinteraksi, berkomunikasi, ingin didengar dan diterima
- Pahami kondisi mereka, tidak ada orang yang ingin terlahir dengan kondisi yang mereka alami, bayangkan kita "memakai sepatu" mereka, pasti sedikit banyak kita akan bisa memahami
- Bersikap normal, seperti selayaknya ketika kita memperlakukan orang lainnya di sekitar kita
Semoga impian dunia yang setara bagi semua, kita hidup berdampingan bersama untuk dunia yang lebih indah
Write a comment
Posting Komentar